“Tangis” Peternak Ayam, Sejak Tahun 2019 Megap-Megap dan Jual Rugi

Peternak memanen telur ayam di peternakan kawasan Gunung Sindur, Bogor, Jawa Barat, Selasa (18/2/2020). Pemerintah resmi menaikkan harga acuan daging dan telur ayam ras untuk mengimbangi penyesuaian tingkat harga di pasar yakni harga telur ayam di tingkat peternak dinaikkan dari Rp18 ribu-Rp20 ribu per kg menjadi Rp19 ribu-Rp21 ribu per kg sedangkan daging ayam ras dinaikkan dari Rp18 ribu-Rp19 ribu per kg menjadi Rp19 ribu-Rp20 ribu per kg. Lukman 45 tahun Peternak mengatakan kenaikan harga tersebut sebagai hal yang positif. Sebab, bila tidak hal itu tentu dirasakan merugikan. Pasalnya, saat ini nilai tukar dolar terhadap rupiah tengah menguat dan mempengaruhi berbagai hal, termasuk biaya transportasi. (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)

Kalangan peternak mengeluhkan harga ayam tengah jeblok, sebaliknya harga pakan justru naik. Lebih parahnya lagi, serapan di pasaran juga rendah akibat melemahnya daya beli masyarakat.

Kondisi tersebut membuat petani tidak merasakan adanya selisih yang menguntungkan.

Sekjen Gabungan Organisasi Peternak Ayam Nasional (GOPAN) Sugeng Wahyudi menyatakan kondisi ini sudah terjadi sejak 2019 silam. Namun, kondisi semakin parah terjadi dalam beberapa bulan terakhir.

“Harga di tingkat kandang turun karena secara makronya efek ekonomi. Yang kita nikmati serapannya rendah, demand rendah, sementara waktu belanja pakan masih di posisi tinggi, sehingga input tinggi harga rendah, itu yang membuat harga peternak di bawah rugi. Setidaknya 3 bulan terakhir. Tapi (memang) 5 tahun terakhir jelek bagi peternak kecil,” kata Sugeng kepada CNBC Indonesia, Rabu (2/10/2024).

Demi bisa bertahan, beberapa peternak harus rela bergabung dengan perusahaan besar lewat kemitraan inti-plasma.

Lewat cara ini memang tidak terjadi jual beli pada fase awal. Mitra usaha tidak membayar bibit, pakan, dan obat-obatan ke perusahaan inti. Namun ada kerja sama penyediaan barang-barang yang dibutuhkan oleh mitra usaha dan perjanjian bahwa perusahaan inti akan membeli hasil ternak mitra usaha.

“Banyak yang gulung tikar, makanya banyak peternak yang bergabung ke perusahaan besar yang menerima dan tawarannya cocok, alternatifnya kesana. Semua perusahaan besar jalankan inti-plasma, tapi ngga semua pelaku berbudidaya gabung kemitraan karena berbagai pertimbangan keadilan,” kata Sugeng.

Salah satu alasan peternak enggan bergabung karena sudah tidak lagi memiliki kontrol penuh sebagai wiraswasta, namun tunduk pada perusahaan. Termasuk dalam proses jual beli dan nilai keuntungannya. Namun, ketika pakan ternak terus melambung, itu menjadi salah satu cara ampuh untuk bertahan.

“65-70% bahan baku dari pakan ternak, tetap aja inputnya tinggi, ini membuat biaya pokok produksi tinggi, kalau harga ayam turun harga pakannya ngga ikut turun,” sebut Sugeng.

https://push-agency.net/
https://dronetechroofing.com/
https://modernjewishhome.com/
https://pafitanjungbalai.info/
https://heylink.me/KASS138/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

*