
Desain istana presiden di ibu kota baru Kalimantan Timur mendapati hujan kritik dari para arsitek maupun ahli perencanaan tata kota.
Salah satu kritik mengarah pada bentuk bangunan istana berbentuk Burung Garuda. Pihak asosiasi Arsitek menganggap bentuk ini merupakan simbol yang tidaklah mencirikan kemajuan peradaban bangsa Indonesia di era digital.
Selain itu, fokus lain yang menjadi perbincangan adalah soal keamanan. Sekretaris Jenderal Ikatan Arsitek Indonesia (IAI) Ariko Andikabina pun mempertanyakan aspek penting ini.
“Ada pertanyaan seolah-olah ini bangunan kaca semua, kalau sebelumnya saya dapat penjelasan atau teks menyebut tingginya hampir 80 m setara hampir 20 lantai. Sisi keamanan kepala negara gimana itu, orang penting di negeri ini harus diamankan dengan cara baik,” katanya kepada CNBC Indonesia, Kamis (1/4/21).
Ada kekhawatiran dengan bangunan setinggi itu untuk istana presiden, maka ada kekhawatiran bahwa keamanan kepala negara menjadi kurang terjaga. Ariko mengambil contoh bagaimana negara lain jarang yang menggunakan objek tinggi sebagai istana negara.
“Pada bangunan yang keamanannya tinggi, itu bangunannya jarang tinggi. Misal istana presidensial di banyak negara. Apalagi tubuhnya kaca, kita bicara pengamanan kepala negara,” paparnya.
Suara protes mengenai arsitektur ini datang dari beberapa asosiasi sekaligus, yakni Asosiasi Profesi Ikatan Arsitek Indonesia, Green Building Council Indonesia (GBCI), Ikatan Ahli Rancang Kota Indonesia (IARKI), Ikatan Arsitek Lanskap Indonesia (IALI), dan Ikatan Ahli Perencanaan Wilayah dan Kota (IAP), merilis pernyataan protes beberapa hari lalu.